Wednesday, September 7, 2016

Keterasingan di lingkungan pekerja industri



            Enam hari dalam seminggu dan delapan jam sehari adalah jam kerja pekerja industri/buruh. Selama itu para buruh bekerja tanpa henti, dengan peraturan yang ketat, upah yang rendah, ketiadaan jaminan kesehatan, tak boleh mengobrol dengan buruh lain meskipun diberikan waktu istirahat tetapi mereka gunakan untuk makan dan jika ada waktu lebih mereka gunakan untuk beristirahat menyimpan sisa tenaga mereka daripada untuk mengobrol, dan waktu pulang kerja pun mereka tak bisa bersosialisasi dengan yang lain karena terlalu capek bekerja seharian waktu yang tersisapun digunakan untuk beristirahat menyimpan tenaga untuk bekerja keesokan harinya agar badan tidak terlalu capek dan tidak bangun kesiangan karena jika terlambat gaji akan dipotong dengan nominal yang sangat besar. Itulah potret pekerjaan kaum buruh tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Sejak masa Revolusi Industri sampai sekarang keadaan para buruh diibaratkan seperti di atas bahkan ada yang lebih parah dengan memperkerjakan anak-anak. Para penyair di Eropa juga mengkritisi hal ini lewat karya Elizabeth Bareth dalam sajaknya “The Cry Of The Children”(1841) yang berisi protes terhadap diperkerjakannya anak-anak sebagai buruh.
            Sementara itu, Karl Max dalam bukunya Das kapital menyebutkan bahwa keadaan ini disebut alienasi. Alienasi adalah suatu keadaan dimana manusia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang tercipta oleh kreasinya sendiri, yang merupakan kekuatan yang melawan manusia itu sendiri. Alienasi dalam bidang kerja mempunyai empat aspek yaitu:
1.      Manusia mengalami alienasi dari objek yang diproduksinya.
2.      Manusia mengalami alienasi dari proses produksi.
3.      Manusia teralienasi dari potensi dirinya sendiri.
4.      Manusia teralienasi dari lingkungan sekitar dan masyarakat.
Dalam aktivitas industri, seorang buruh terasing dari barang produksinya sendiri mungkin saja ia telah menghasilkan ribuan barang produksi tersebut selama bertahun-tahun akan tetapi tidak mengenal barang tersebut bahkan tidak memiliki hak atas barang tersebut. Demikian halnya dengan proses produksi, ia terfokus akan beban kerja yang tinggi dan efisiensi yang diberikan oleh perusahaan demi mendatangkan keuntungan yang banyak untuk perusahaan sehingga tak jarang seorang buruh hanya peduli pada proses produksinya sendiri, taka da waktu untuk berkomunikasi dengan yang lain karena akan menghambat produktifitasnya. Disamping itu, para buruh juga terasing dari potensi diri sendiri. Dia tidak bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya meskipun dia memiliki berbagai potensi dalam dirinya. Terakhir, seorang buruh teralienasi dari lingkungan sekitar dan masyarakat. Pekerjaan di pabrik sangat menguras waktu dan tenaga terutama jika mendapat lembur, oleh karena itu ketika waktu pulang kerja akan mereka gunakan untuk beristirahat sehingga tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan bahkan tak peduli dengan lingkungan sekitar. Kerja, bagi si pekerja itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat eksternal. Dia tidak menemukan kepribadiannya dalam bekerja justru mengingkarinya oleh sebab itu seorang buruh selalu tidak betah di tempat kerja, selalu melihat waktu kapan ini berakhir, selalu senang saat waktu tenggang. Di tempat kerjanya, seorang buruh tidak merdeka melainkan alat milik orang lain karena perusahaan sudah memberikan upah.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan buruh dengan aktivitasnya sendiri adalah sesuatu yang berlawanan. Sebagai sesuatu yang berlawanan dan bukan atas keinginannya sendiri ia merasakannya sebagai suatu penderitaan. Sesungguhnya apabila hubungan seseorang dengan kerjanya, hasil kerjanya dan dirinya sendiri baik maka hubungannya dengan orang lain dan dirinya sendiri akan baik pula. 

Sumber: Hotman M. Siahaan. 1986. Pengantar ke arah sejarah dan teori sosiologi. Jakarta. Erlangga. 

No comments:

Post a Comment